Mengingat kematian

Oleh : Admin

Kematian merupakan kepastian. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya. Firman Allah SWT, ”Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata.” (Al-Jum’ah: 8).

Meskipun demikian, manusia pada umumnya tidak suka, bahkan sangat takut pada kematian. Bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan. Dalam buku Mizan al-‘Amal, Imam Ghazali menjelaskan beberapa alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.

Walhasil, manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Manusia, kata Ghazali, biasanya ingat kematian hanya kalau tiba-tiba ada jenazah lewat di depannya. Seketika itu, ia membaca istirja’: ”Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Namun, istirja’ yang dibaca itu hanyalah di mulut saja, karena ia tidak secara benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan ibadah dan amal saleh. Jadi, kalau demikian, agar tidak alergi dan fobia dengan kematian, manusia, menurut Ghazali, harus sering-sering ingat kematian sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ”Perbanyaklah olehmu mengingat kematian, si penghancur segala kesenangan duniawi.” (HR Ahmad).

Menurut Ghazali, ingat kematian akan menimbulkan berbagai kebaikan. Di antaranya, membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qona’ah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya. Kebaikan lain, manusia bisa lebih terdorong untuk bertobat alias berhenti dari dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Lalu, kebaikan berikutnya, manusia bisa lebih giat dalam beribadah dan beramal saleh sebagai bekal untuk kebaikannya di akhirat kelak. Dengan berbagai kebaikan ini, orang-orang tertentu seperti kaum sufi tidak takut dan tidak gentar menghadapi kematian. Mereka justru merindukannya, karena hanya lewat kematian mereka dapat menggapai kebahagiaan yang sebenar-benarnya, yaitu berjumpa dengan Allah dalam ridha dan perkenan-Nya.

Inilah anugerah dan kabar gembira dari Allah kepada mereka. Firman-Nya, ”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka seraya berkata, ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’.” (Fushshilat: 30).

Mengubah kemungkaran

Oleh : Admin

Dalam istilah sehari-hari, kata munkar sering digandengkan dengan kata ma’ruf, seperti dalam ungkapan amar ma’ruf nahi munkar. Ini menunjukkan antara keduanya mempunyai hubungan erat. Apabila kita menyeru manusia kepada yang ma’ruf (baik), maka kita pun harus mencegahnya dari yang munkar (buruk).

Kemungkaran meliputi segala yang buruk dan dilarang Islam. Misalnya, korupsi, mengabaikan kehormatan rakyat, menyerahkan urusan kepada yang bukan ahli, menimbun barang yang dibutuhkan rakyat untuk kepentingan pribadi atau golongan, menghukum manusia tanpa melalui prosedur pengadilan yang adil, dan praktik sogok-menyogok.

Mengubah kemungkaran wajib bagi Muslim sebagai konsekuensi iman yang dimilikinya. Menjalankan misi ini menjadi unsur fundamental terwujud keutamaan dan kebaikan umat. Allah berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS 3: 110).

Kewajiban mengubah kemungkaran berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Mereka dituntut tolong menolong dalam menjalankannya. Allah memuji orang-orang yang menjalankan tugas itu. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 9:71).

Mereka yang pasif ketika melihat dan mengetahui kemungkaran mendapat murka dan celaan dari Allah. Allah berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS 5: 78-79).

Orang yang keberatan dan takut memberikan peringatan kepada orang yang zalim dan berbuat mungkar dicela Rasulullah SAW dan dinilai sebagai orang yang tidak layak hidup. Rasulullah SAW bersabda: “Jika kulihat umatku gentar berkata kepada orang zalim, hai orang zalim, maka mereka tidak layak lagi untuk hidup.” (HR Ahmad).

Mengubah kemungkaran dilakukan dengan sejumlah tahap. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah dengan lidahnya. Jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, namun yang sedemikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).

Ada tiga tahap mengubah kemungkaran. Pertama, menggunakan tangan atau kekuasaan apabila mampu. Kedua, menggunakan lidah dan keterangan, apabila tidak mampu dengan tangan. Ketiga, apabila tidak mampu, beralih ke cara yang paling rendah, yaitu mengubah dengan hati. Ini merupakan selemah-lemah iman.

Wallaahu a’lam